Sabtu, 29 Juni 2013

Antropologi Hukum

1.      Antropologi Hukum
Salah satu cabang spesialisasi adalah antropologi hukum. Dalam menbandingkan kebudayaan – kebudayaan manusia, maka salah satu hal yang menarik perhatian untuk dipahami secara mendalam dalam konteks yang universal adalah : norma – norma yang selalu terumus dalam setiap bentuk kehidupan bersama dari manusia sebagia pedoman, yang diajarkan kepada para warganya supaya diperhatikan dalam berperilaku. Sehubungan dengan perhatian tersebut berkembanglah bidang perhatian baru yang menghasilkan berbagai karya tulis dengan keterangan – keterangan tentang berfungsinya hokum dalam berbagai kebudayaan; dalam kebudayaan yang masih bersahaja dan juga dalam kebudayaan yang sudah bersifat kompleks. Berbagai kerangka teori juga dirumuskan dengan menunjukan kepekaan terhadap tinjauan lintas budaya yang berarti bahwa kesimpulan – kesimpulan mengenai hukum dan definisi hokum benar – benar diuji, apakah dapat berlaku untuk aneka kebudayaan manusia. Misalnya dapat diuji suatu pendapat, bahwa hukum adalah aturan – aturan yang dirumuskan secara sengaja oleh badan yang ditunjuk khusus untuk itu dan dimaksudkan untuk jadi pedoman yang berlaku bagi warga masyarakat dan kalau dilaranggar ada sanksinya yang nyata – nyata dilaksanakan oleh petugas – petugas yang telah ditunjuk.

2.      Hubungan di antara Hukum dan Kebudayaan
Suatu hal lain yang juga memperoleh sorotan dalam bidang pengetahuan ini adalah hubungan di antara hokum dan kebudayaan. Dalam antropologi hokum, hokum di tinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam kehidupan bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dengan menjunjung tinggi nilai – nilai budaya tertentu.
Suatu contoh untuk menjelaskan hubungan di antara hokum dan kebudayaan akan diberikan, yaitu contoh mengenai hubungan kerabat dalam system kekerabatan orang bali. Menurut desain hidup dalam kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan adalah suatu hal yang maha penting. Nilai utamanya ialah gagasan bahwa hanya anak laki – laki yang diakui sebagai penghubung dalam garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma social, yaitu seseorang memperhitungkan garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat dikonstruksikan (menjadi suatu konstruksi konseptual) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang menghubungkan para laki – laki sebagai penghubung – penghubung garis keturunan.
Sebagian dari norma social itu kalau dilanggar akan memperoleh ganjaran atau sanksi yang konkrit, dikenakan oleh para petugas hukum atau wakil- wakil masyarakat yang diberi wewenang untuk itu. Dalam kehidupan kekerabatan, menurut adat tradisional di Bali, seorang wanita yang kawin diharapkan mengikuti suaminya ke tempat tinggal kerabatnya. Ini norma social dan biasanya memang di ikuti. Tapi andaikata ada seorang wanita yang menyimpang, maka penyimpangan itu akan mempunyai konsekwensi hokum misalnya, dia diceraikan. Jadi sebagian dari nilai – nilai budaya yang telah tercermin dalam norma sisoal juga di masukkan ke dalam peraturan hukum dan karena perlindungannya terjadi melalui proses hukum maka usaha mencegah pelanggarannya lebih maksimal dibandingkan dengan norma social yang merupakan kebiasaan saja.

3.      Pedoman Berlaku dan Pengendalian Sosial
Dari iraian di atas dapat dilihat bahwa hukum menggunakan suatu kekuasaan untuk memaksakan orang – orang menghormati norma social dan dengan demikian membantu supaya kebudayaan dapat lestari. Dapat juga dikatakan secara lebih halus bahwa hukum mendorong agar para warga masyarakat berlaku secara tidak menyimpang karena ada ancaman akan digunakan paksaan.
Suatu proses dapat diidentifikasikan di sini, yaitu proses yang dimulai dengan mengerjakan nilai – nilai, atau lebih konkrit mengerjakan norma – norma social, dengan menghimbau pada motivasi – motivasi supaya niali – nilai atau norma – norma diterima, diinternalisasikan, sehingga menjadi bagian dari kepribadian dan dari perilaku yang sesuai dengan (konformitas dengan norma) yang diharapkan oleh masyarakat atau oleh kelompok. Namun tentunya tidak dalam semua hal proses itu lancar, karena pengingkaran terhadap norma itu terjadi.
Dalam istilah ilmu social prose situ dinamakan pengendalian social atau control social. Dapat dilihat bahwa dalam pengendalian social itu digunakan berbagai cara atau “instrument”, dari cara yang terhalus sampai kepada cara yang paling keras, dari cara yang menghimbau kepada kemampuan akal sampai kepada paksaan yang tidak mengenal ampun. Semua cara ini tertuju untuk mewujudkan suatu keadaan yang serasi atau situasi yang damai (dalam arti kebaikan dari yang terus bercekcok), atau untuk mewujudkan suatu tatanan social yang memungkinkan para warga masyarakat melaksanakan cara hidup seperti yang terumus, baik secara eksplisit maupun secara implicit dalam kebudayaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan .
Dalam masyarakat yang masih mempunyai cirri – ciri komunitas (artinya hubungan antar – manusia masih kebanyakan berlangsung secara berlawanan – muka, para warga masyarakat saling mengenal dan para orang tua mereka juga sudah saling berhubungan sejak lama), maka pendapat umum di masyarakat setempat itu sudah besar efektifitasnya dalam mengerahkan bagaimana cara berlaku yang sesuai dengan norma. Begitu pula persepsi menegenai apa yang wajar tidaklah terlalu banyak bedanya. Dalam toleransi terhadap penyimpangan norma, dan dalam kecenderungan kebiasaan penyelesaian sengketa, masyarakat – masyarakat sering berbeda juga. Ada masyarakat di mana sangat ketat dituntut ketaatan pada norma, sedangkan ada masyarakat yang bersifat lebih luwes dan secara tidak terlalu eksplisit masih member ruang atau masih memaafkan sampai derajat tertentu penyimpangan, yang di anggap masih di dalam batas toleransi.

4.      Penyelesaian Sengketa
Seperti telah dikemukakan lebih dahulu, maka dengan pengendalian social diharapkan para warga masyarakat berlaku conform dengan norma sehingga suatu keadaan yang damai dapat tercipta. Namun dalam kenyataan di semua masyarakat ada saja individu yang tidak mengindahkan norma, dan tindakan itu merugikan ke pentingan orang lain. Hubungan yang tadinya bersifat serasi mengalami gangguan. Bila pelanggaran norma itu masih dianggap belum melewati batas (batas toleransi yang tidak sama dalam semua kebudayaan), maka mungkin suatu sengketa belum sempat terjadi. Dengan bermaaf – maafan atau dengan janji pelanggaran tidak akan berulang lagi, hubungan dapat kembali kepada keadaan yang serasi. Berlainan halnya dengan pelanggaran yang dianggap melewati batas toleransi.
Di berbagai tempat di Indonesia pada tingkat komunitas pedesaan  ada dewan – dewan seperti hadat ini, yang srtukturnya tidak tetap dan yang berkumpul bila ada sengketa diajukan kepadanya. Dalam istilah hukum adat, dewan semacam itu dinamakan peradilan desa.
Dalam undang – undang yang mengatur tentang badan – badan peradilan di Negara kita sampai dengan tahun 1970 diakui peradilan desa yang merupakan lembaga masyarakat sebagai suatu badan asli yang fungsinya menyelesaikan sengketa menurut hukum adat. Namun dengan keluarnya ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU no. 14 tahun 1970), maka pengakuan itu di cabut, sehingga resminya peradilan desa tidak lagi disebut suatu dewan yang menyelesaikan sengketa.

5.      Ilmu Hukum Adat dan Antropologi Hukum
Gejala – gejala social, yang merupakan pokok perhatian ilmu hukum adat di Negara kita memang termasuk juga dalam pokok – pokok yang ditekuni oleh antropologi hukum. Adat merupakan salah satu gagasan, yang umum terdapat dalam kebudayaan – kebudayaan daerah di Negara kita. Arti yang paling inti dari adat ialah pedoman berlaku atau cara – berlaku, yang sudah diikuti oleh sebagian besar warga suatu masyarakat dan d anggap pantas untuk situasi tertentu atau pada saat menjalankan peranan tertentu.
Kadang – kadang dalam pengertian adat itu tersirat juga suatu makna yang keramat. Misalnya, bila ada suatu konsep bahwa adat itu amanat para leluhur akan timbul dan keturunan yang masih hidup ditimpa hukuman.
Dalam berperan sebagai orang muda di jawa tengah waktu menghadapi orang tua, orang muda dikatakan berlaku menurut adat apabila ia menunjukan rasa hormatnya kepada orang tua, rasa hormat dalam cara berbicara, misalnya menggunakan bahasa jawa tingkat tinggi. Bila adat menunjukan hormat itu ditinggikan, maka pelanggaran ditegur, diejek atau mungkin saja diboikot. Orangnya sendiri dihinggapi perasaan yang tidak “enak”, malahan orang muda yang melawan orang tuanya sering takut perilakunya nanti mendatangkan hal – hal yang tidak baik baginya.

6.      Manfaat Praktis dari Antropologi Hukum
Para praktisi hukum seringkali ragu – ragu mengenai apakah ada manfaat yang dapat mereka ambil dari antropologi hukum. Mereka memang bisa mengakui bahwa telaah antropologi hukum akan memperdalam pemahaman mereka mengenai proses pengendalian social, mengenai latar belakang budaya dari hukum, tetapi yang demikian tidak dapat langsung digunakan.
Dalam karangan Bohannan berjudul “Anthropology and Law” yang terjemahannya dimuat dalam kumpulan karangan ini, disebutkan bahwa para penekun dari hukum dapat dibedakan dalam dua golongan besar yang mempunyai perhatian terhadap hukum dalam kaitannya dengan perilaku manusia dan yang menaruh minat terhadap hukum dari segi intelektual dan filosofis.

7.      Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum
Suatu pertanyaan yang sering diajukan oleh mahasiswa yang mempelajari antropologi hukum adalah: apa perbedaan di antara antropologi dan sosiologi hukum? Malahan ada mahasiswa yang mengemukakan bahwa dia kadang – kadang bingung karena dua ilmu itu diajarkan terpisah , sedangkan kenyataannya menurut dia diantara kedua ilmu itu tidak ditemukan perbedaan yang hakiki. Kedua ilmu itu memang sama – sama mempelajari pokok – pokok yang berkaitan dengan bagaimana hukum itu berfungsi dalam kenyataan di masyarakat. Dalam menelaah objeknya kedua ilmu tidak hanya bertitik tolak dari ketentuan yang sudah terumus, secara tertulis maupun lisan, melainkan yang justru diperhatikan adalah bagaimana nyata – nyatanya warga masyarakat berperilaku. Apakah perilaku itu telah mencerminkan norma yang telah terumus itu? Jadi beberapa dari ilmu hukum yang membatasi diri pada telaah hukum positif (hukum yang berlaku di tempat tertentu), pendekatan sosiologi dan antropologi hukum tidak dibatasi oleh pendekatan normative. Malahan melalui pengamatan dunia empiric di mana hukum dilihat sebagai suatu yang tercermin dalam perilaku, dalam keputusan – keputusan pejabat – pejabat hukum, dapat saja disimpulkan bahwa ada ketentuan – ketentuan yang telah terumus dengan rapih, dalam nyatanya telah menjadi huruf mati, atau dikesampingkan sebagai pedoman perilaku.
Perbedaan di antara sosiologi dan antropologi hukum barulah dapat dimengerti bila titik latar belakang sejarah munculnya dua disiplin itu. Karena perkembangan itu maka ada kecenderungan yang berlainan dalam pemilihan pokok yang ditekuni, pendekatan yang diterapkan serta metode penelitian yang di gunakan.
Sosiologi hukum pada mulanya terutama berkembang sebagai hasil perhatian para pemikir hukum mengenai segi kemasyarakatan dari hukum.

8.      Sedikit tentang Karangan – karangan yang Ddipilih
Dalam kata pengantar ini kami masih hendak mengemukakan beberapa pemikiran mengapa karangan – karangan yang dimuat di sini diterjemahkan untuk dipublikasikan. Karangan pertama dalam kumpulan ini aslinya berjudul “Anthropology and Law”, karya seorang ahli antropologi bernama Paul Bohannan.
Dalam karangan ini Bohannan antara lain mengemukakan bahwa hukum merupakan hal yang luas sekali malahan menurut para ahli hukum barat, dapat menjadi seluas hidup itu sendiri. Karena itu tidak ada bidang pengetahuan yang akan mampu menguasai semua seluk – beluk yang berkenan dengan hukum itu.
Hal lain yang dikemukakan oleh Bohannan dalam karangan ”Antropologi dan Hukum” masih hendak kami soroti sehingga lebih jelas segi – segi mana dari hukum itu yang terutama ditelaah oleh antropologi hukum. Menurut Bohannan, antropologi hukum hendak memahami cara – cara masyarakat mempertahankan nilai – nilai yang di anutnya dan bagaimana terjadi perubahan nilai dalam masyarakat itu.
Dalam hubungan dengan ini pembedaan hukum dalam hukum perdata dan hukum public yang terdapat dalam berbagai system hukum modern, tetapi yang tidak dibedakan secara kategoris dalam banyak hukum di masyarakat bersahaja perlu disinggung disini.
Pembagian dalam hukum pribadi dan hukum public didasarkan kepada suatu pemikiran bahwa kepentingan – kepentingan yang perlu dilindungi oleh hukum dapat dibedakan dalam kepentingan yang bersifat privat, artinya berkenan dengan kepentingan antar warga masyarakat seperti halnya dengan hubungan – hubungan keluarga, perjanjian jual beli, sewa – menyewa dan kepentingan yang secara dominan langsung berkenan dengan kepentingan umum seperti keamanan umum, ketertiban umum. Hukum yang mengatur kepentingan pribadi, yang tentunya secara tidak langsung juga berkaitan dengan kepentingan umum, merupakan bidang hukum privat dan mengenai pelanggaran yang terjadi terhadap hukum privat, pada umunya para warga masyarakat sendiri yang diserahi, wewenang untuk memilih cara penyelesainnya. Kalau para warga masyarakat memilih cara – cara penyelesaian melalui lembaga – lembaga tradisional, melalui intervensi orang – orang tua di desa maka itu tidak dicampuri oleh alat – alat Negara dalam suatu Negara modern.

BAB I:
ANTROPOLOGI DAN HUKUM
Paul J. Bohannan

Ada suatu suku di Liberia, bernama suku Gola, yang mempunyai pemeo mengenai hukum sebagai berikut : “hukum itu laksana bunglon, dia berubah bentuk pada tempat yang berbeda dan hanya dapat di kuasai oleh mereka yang mengetahui seluk – beluknya.”
Kalau memang hukum itu dapat berubah – ubah seperti bunglon, dan seluas kehidupan, maka dalam keseluruhannya hukum itu tidaklah dapat dikuasai oleh orang mana pun, dan malahan oleh profesi apa pun. Maka diperlukan berbagai cabang keahliannya untuk mendalaminya. Para ahli tersebut dapat di bagi dalam dua golongan besar. Golongan pertama adalah mereka yang mendalami hukum dalam hubungan dengan kelakuan manusia, dan yang kedua memperhatikan segi intelektual dan segi filosofis dari hukum. Yang pertama terdiri dari pada praktisi hukum, seperti pengacara, hakim, kepolisian, dan para pembuat undang – undang. Yang kedua meliputi mereka yang mempelajari ilmu hukum, sejarah dan cara – cara pemerintahan dan juga sarjana antropologi yang mengkhususkan  diri pada pendalaman cara – cara memecahkan sengketa yang dikenal oleh berbagai bangsa di bumi kita ini dan bagaimana mereka mempertahankan paling kurang satu tata politik tertentu.
Ilmu hukum, dan antropologi hukum, masing – masing dengan caranya sendiri, juga mempelajari hukum seperti halnya pengacara dan hakim. Namun mereka itu, tidaklah menghasilkan pengetahuan yang diterapkan dalam masyarakat manusia karna mereka hendak memahami cara masyarakat mempertahankan nilai – nilai dasar yang dianutnya dan juga mengubah nilai – nilai tersebut.
Dengan demikian para sarjana antropologi hukum itu pertama – tama perlu memperhatikan dua hal : ia harus menemukan dahulu apa yang menurut ucapan suatu bangsa merupakan hal – hal yang pantas mereka lakukan. Dia akan menemukan bahwa ada bangsa yang sangat ketat menuntut dari warganya untuk berlaku menurut hal – hal yang digariskan dan ada bangsa yang lebih longgar, atau tidak terlalu ketat; ada bangsa yang mempunyai norma tingkah laku yang tinggi dan tuntutan yang tinggi; ada pula yang mempunyai norma yang sama tapi tidak membuat tuntutan yang hamper sama.
Para sarjana dari kedua cabang ini juga hendak membandingkan nilai – nilai pokok yang berlaku dalam masyarakat – masyarakat manusia dan hendak memahami dan membahas pranata – pranata yang dengan perantaraannya masyarakat menyediakan norma – norma untuk warganya; di dalam norma – norma ini kepuasan rohaniah dapat ditemukan dan tingkah laku orang lain yang mencari kepuasan rohaniah dapat diramalkan. Sehubungan dengan yang telah dikemukakan mengenai cabang – cabang ilmu dari golongan kedua, maka ahli antropologi hukum (demikian spesialisasi ini juga dinamakan) dan ahli ilmu hukum, tidaklah terlalu menempatkan masalah mengenai orang yang melanggar hukum dalam pusat perhatiannya. Hal demikian menjadi pusat perhatian hakim dan petugas hukum lainnya. Ahli ilmu hukum dan ahli antropologi hukum lebih banyak memperhatikan masalah bagaimana hukum mempertahankan pranata – pranata yang ada dalam masyarakat, bagaimana ,asyarakat merumuskan pelanggaran terhadap hukum, sehubungan dengan cita – cita mengenai apa yang baik dan buruk menurut anggapan dalam kebudayaan  yang bersangkutan.
Kalau kita menghubungkan hak inidengan pemeo yang telah dikutip diatas, maka pemeo orang Gola menunjuk pada hukumnya para praktisi. Memang hukum dalam arti itu berbeda dari satu kebudayaan kepada kebudayaan lain, sebagaimana bunglon. Sedangkan ucapan kedua yang mengatakan bahwa hukum adalah seluas hidup itu sendiri, menunjuk kepada segi dari hukum yang dipelajari oleh golongan disiplin kedua. Karena walaupun system hukum yang tertentu hanya sebagian kecil mencakup dari cara berlaku yang di rumuskan menurut prinsip etis dan moral, namun dapat saja hukum itu mencakup segala sesuatu, yang berkaitan dengan seluruh kebudayaan manusia.









BAB II
HUKUM DAN PRANATA HUKUM
Paul J. Bohannan

Barangkali usaha untuk merumuskan konsep hukum termasuk usaha yg memakan paling banyak tenaga bila dibandingkan dengan tenaga yang dicurahkan pada usaha perumusan sesuautu konsep yang di pakai secara sentral dalam ilmu social. Karena itu rupa – rupanya yang di katakana kant mengenai “para sarjana hukum masih tetap mencari definisi hukum – hukum”, masih tetap ada kebenarannya.
Austin secara terus – menurus mempengaruhi ilmu hukum di Inggris dengan member tekanan pada segi “perintah dari hukum dan dengan menunjukan bahwa hukum adalah” perintah dari penguasa”. Sejak itu para sarjana, dan sebenarnya tanpa berhasil, memperbedakan apakah perincian Austin berlaku hanya pada system – system hukum perkotaan yang telah maju, dan apakah dia sesungguhnya memang menonjolkan segi perintah itu.para ahli dari Amerika yang “realistis” menganut dictum dari Oliver Wendell Holmes, yaitu bahwa hukum adalah ramalan mengenai apa yang akan diputuskan oleh pengadilan. Ilmuwan di Eropa cenderung untuk memperhatikan segi – segi “kebenaran dan keharusan” dari prinsip “rule of law” dan masuk jauh ke dalam bidang filsafat moral. Dalam percobaan untuk merumuskan hukum, sebagian dari ilmuwan mutakhir seperti Hart (1954) menyimpulkan bahwa ada 3 pokok permasalahan yang utama:
1.      Bagaimana hubungan di antara hukum dan usaha untuk menegakkan tata social?
2.      Bagaimana hubungan di antara kewajiban hukum dan kewajiban moral?
3.      Apakah yang di maksud dengan aturan (rule) dan sampai berapa jauhkah hukum itu merupakan aturan?
Ilmuwan yang lain seperti halnya Stone (1966) melukiskan sejumlah atribut yang biasanya ditemukan berkaitan dengan hukum, yaitu:
1.      Hukum adalah suatu kesuluruhan yang rumit sifatnya,
2.      Yang selamanya mencakup norma social yang mengatur kelakuan manusia. Norma ini
3.      Memiliki sifat social dan
4.      Membentuk suatu keseluruhan yang rumit namun mempunyai aturan. Aturan ini
5.      Bersifat sangat memaksa, dan
6.      Dilembagakan. hukum
7.      Cukup efektif dalam mempertahankan dirinya.

Para ahli antropologi yang mempelajari hukum di masyarakat yang bersahaja telah juga melakukan usaha yang sama. Demikianlah pospisil (1958) mempelajari berbagai atribut hukum, yaitu 1) otoritas 2) maksud bahwa sesuatu aturan dapat berlaku secara universal 3)  obligation, yaitu seorang mempunyai hak dan yang lain kewajiban dan 4) sanksi.

Lembaga atau Pranata Hukum
Untuk dapat membedakan hukum  dari aturan – aturan jenis lain, perlu dipahami apa yang di maksud dengan pranata atau lembaga (institution). definisi Malinowski mengenai lembaga adalah sebagai sekelompok orang – orang yang bersatu (dank arena itu teroganisir) untuk tujuan tertentu yang memiliki sarana kebendaan dan teknis untuk mencapai tujuan tersebut atau paling tidak melakukan usaha yang masuk akal yang diarahkan untuk mencapai tujuan tadi yang mendukung system nilai tertentu. Etika dan kepercayaan – kepercayaan yang memberikan pembenaran kepada tujuan dalam rangka mencapai tujuan tadi berulang kali melakukan jenis – jenis perbuatan yang sedikit banyak dapat diramalkan.

Adanya organisasi politik dengan sendirinya menyebabkan para ahli teori menganut faham “kekuasaan tertinggi” dari jenis teori Austin dan “paksaan fisik seperti yang dikemukakan oleh Holmes dan lain –lain. Dari sudut ini maka lembaga hukum harus memiliki dua cirri mutlak:
1.      Lembaga itu haruslah meyelesaikan pertikaian yang timbul dalam lembaga lain (yang bukan lembaga hukum) dan
2.      Lembaga itu harus berkaitan dengan sesuatu bentuk dari organisasi politik.
Tetapi cirri kedua ini yang untuk system Barat barangkali perlu di pertahankan. Khususnya untuk meniliti system hukum yang kurang berkembang, sebetulnya dapat dan harus dilupakan. Dalam pelaksanaan tugas untuk menyelesaikan pertikaian – pertikaian yang timbul dalam lembaga – lembaga lain (lembaga bukan hukum), lembaga hukum harus mempunyai cara khusus untuk:
1.      Mengembalikan keadaan yang telah terganggu dalam lembaga – lembaga lain yang timbul karena adanya pertikaian.
2.      Mengurus kesukaran yang timbul karena kasus – kasus gangguan itu dalam kerangka lembaga hukum.
3.      Menetapkan cara penyelasaian kesukaran yang baru kembali kepada proses – proses dalam lembaga bukan hukum dari mana kesukaran – kesukaran tersebut timbul.
Adanya cirri – cirri demikian itu merupakan pertanda nyata adanya suatu organisasi politik.
Dengan begitu maka paling sedikit ada dua segi lembaga hukum yang tidak dimiliki oleh lembaga lain yang ada dalam masyarakat. Pertama, hanya lembaga hukumlah yang memiliki cara – cara teratur untuk campur tangan apabila terjadi gangguan fungsi pada lembaga – lembaga yang lain agar dapat menghilangkan akibat – akibat dari gangguan hukum itu. Kedua, harus ada dua jenis aturan dalam lembaga hukum, yaitu aturan yang mengatur legiatan – kegiatan dari lembaga hukum itu sendiri (dalam hukum modern disebut hukum acara) dan aturan – aturan yang menggantikan atau merupakan midifikasi atau perumusan kembali dari aturan – aturan yang ada pada lembaga – lembaga social lainnya yang telah terganggu fungsinya itu dalam hukum modern disebut hukum stantif.

Sanksi
Banyak sarjana dalam melakukan studi – studi perbandingan telah menyoroti masalah sanksi dengan maksud menetapkan hal – hal yang seharusnya tercakup dalam bidang hukum. Sanksi pada umumnya diartikan sebagai apa yang oleh hukum itu sendiri dikatakan akan atau mungkin terjadi terhadap orang – orang yang dianggap bersalah karena  melanggar suatu aturan hukum. Oleh para ahli ilmu social pada perkataan ini diberi arti yang lebih luas dari penggunannya dalam hukum, Redcliffe-Brown misalnya, menguraikan saksi negative dan positif untuk kelakuan, yang mencakup baik hukuman bagi orang yang berlaku tidak sesuai, naupun pujian bagi orang yang berlaku tidak sesuai, maupun pujian bagi orang yang berlaku taat, dan ini pun dilakukan tanpa memerinci siapa yang memberi pujian ataupun hukuman.


Hukum dan Ilmu Sosial
Nampaknya perlu diteliti dua factor selanjutnya. Pertama kira – kira definisi hukum yang bagaimana yang diperlukan dalam ilmu social? Kedua, dan ini berkaitan dengan masalah itu, dengan cara bagaimana para ahli ilmu social dapat meniliti lembaga – lembaga hukum dan pengesahaan hak – hak yuridis dalam kebudayaan tertentu atau dalam suatu rangkaian beberapa kebudayaan yang saling berkaitan? Saya (Bohannan) berpendapat bahwa inti konsep ilmu sisoal tentang hukum ditinjau dalam gejala pelembagaan  hak – hak secara berganda yaitu sekali dalam rangka lembaga kebinasaan, dan sekali lagi lembaga hukum.
Variable – variable hukum bersifat menentukan barangkali dapat dianggap sebagai bagian dari bidang social tetapi pada pihak lain, bidang social harus juga diperhatikan oleh ilmu hukum. Dengan singka, yang diperlukan adalah peninjauan yang seolah – olah menggunakan dua lensa, yaitu meninjau data melalui lensa ilmu hukum pada mata yang satu dan melalui lensa ilmu social pada mata yang lainnya.
Jadi justru sifat hukum itu sendiri dan kemampuannya untuk melakukan suatu pada lembaga social maka kesenjangan itu ada. Kalaupun dapat diciptakan proses pelembagaan hukum yang sempurna, perubahan – perubahan yang terjadi pada lembaga lembaga primer akan menimbulkan kesenjangan lagi.
Tugas pertama dari ahli ilmu social aialah menganalisa system hukum yang ada dan mengkaji hubungan di antara itu dengan lembaga – lembaga bukan hukum dalam masyarakat. Mungkin ada bentuk – bentuk dari peradilan asli, mungkin ada lembaga bela diri, mungkin ada usaha untuk mengetahui suara dari makhluk gaib, dan mungkin ada rapat – rapat masyarakat setempat atau wakil mereka. Ahli ilmu social dapat mempelajari jenis – jenis kebiasaan  yang dilegalisir dalam suatu masyarakat tertentu.







BAB III
HUKUM, BENTUK ATRIBUT DAN PENERAPANNYA
Leopold Pospisil

Dalam kupasan – kupasan ilmiah pada umumnya dianggap sebagai unsure kebudayaan yang telah maju. Sering dikemukakan bahwa hukum tidak ditemukan pada masyarakat – masyarakat petani yang masih terbelakang dan khususnya dikatakan tidak ada pada suku bangsa pemburu dan pengumpul makanan.
Antropologi hukum mengelakkan kecuali pendapat yang sangat jarang pra anggapan yang bersifat demikian etnosentrisnya dan karena itu cabang ilmu ini mempunyai segi yang menguntungkan ketimbang ilmu – ilmu seperti ilmu hukum politik dan sosiologi.
Pertama – tama ilmu ini tidak membatasi pandangannya pada kebudayaan – kebudayaan tertentu. Masyarakat manusia dipelajari secara perbandingan. Bagaimana primitifnya tahap perkembangan suatu masyarakat, hal itu di anggap pantas di pelajari di samping masyarakat yang sudah mencapai tahap peradaban dan pada umumnya tidak diberi perlakuan yang kwalitatif berbeda pada suatu jenis masyarakat tertentu. Kedua, berlainan dengan cabang ilmu social lainnya, dalam ilmu ini masyarakat dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang utuh yang bagian – bagiannya saling berkaitan.
Dengan perkataan lain, seorang ahli antropologi yang berada di lapangan tidaklah (atau seharusnya tidak) hanya memusatkan perhatiannya kepada apa yang dianggapnya merupakan hukum, dan berpendapat bahwa segi – segi yang lain dari kebudayaan tidak relafan sifatnya. Hukum harus dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan sebagai keseluruhan dan tidak dianggap sebagai pranata yang otonom. Ketiga, dalam antropologi modern tidak lagi dipusatkan pada “kekuatan – kekuatan social” dan hal – hal yang “superorganis” dan meremehkan peranan individu. Keempat, masyarakat tidak lagi dipandang berada dalam keseimbangan yang mengalami gangguan bila ada penyimpangan. Kelima, antropologi hukum termasuk ilmu mengenai hukum, jadi bersifat empiris. Kosekwensinya adalah teori yang dikemukakan harus di dukung oleh semua fakta yang relavan atau paling sedikit oleh “wakil” yang representatip dari fakta yang relavan.

12. Beberapa dikhotomi dan penjelasan istilah
Pada awal tulisan ini dirasa perlu untuk menjelaskan beberapa pemikiran yang mendasar dalam hukum dan beberapa gagasan agar supaya tidak terjadi interpretasi yang keliru. Yang di maksud adalah penjelasan mengenai tiga jenis dikhotomi, dan penjelasan mengenai beberapa gagasan yang lain.
Dokhotomi pertama adalah pembedaan di anatara hukum substantive dan hukum procedural, atau acara. Hukum substantive menentukan batas – batas dari kelakuan yang diizinkan dan terutama berkenan dengan isi dari azas –azas hukum seperti, misalnya jenis – jenis kejahatan, dan perbuatan yang melanggar hukum dan hukumannya, jenis – jenis kontrak, hak – hak atas benda, cara – cara pembagian warisan dan jenis hubungan kekerabatan yang di akui oleh hukum.
Dikhotomi kedua mengatur mengenai prinsip territorial dan prinsip personal (pribadi) dari hukum. Dalam sistim hukum modern prinsip utama yang digunakan adalah prinsip territorial. Menurut prinsip ini hukum diterapkan pada umumnya di daerah tertentu tanpa memperhatikan status dari orang – orang yang berurusan dengan hukum itu.
Dikhotomi terakhir adalah perbedaan di antara apa yang dalam bahasa Latin dinamakan Ius dan Lex. Ius adalah hukum dalam arti prinsip – prinsip atau azas – azas yang secara tersirat termasuk dalam preseden dan aturan – aturan (Rules) sedangkan dengan lex dimaksudkan suatu aturan abstrak yang pada umumnya dinyatakan secara eksplisit dalam suautu undang – undang . dengan demikian kegiatan pembuatan undang – undang menciptakan leges (bentuk jamak dari lex) dan leges itu mengandung ius. Jadi ius adalah jauh lebihfundamental dari lex Karena lex adalah salah satu bentuk dari ius (lex adalah bentuk yang forma dan eksplisit dari ius).

Sengketa berkepanjangan
Dalam beberpa laporan antropologi gagasan hukum (ius) didentikkan dengan sengketa berkepanjangan. Ada para antropolog yang beranggapan bahwa dalam masyarakat suku –suku yang masih bersahaja atau primitive sering hukum mengambil bentuk sebagai sengketa berkepanjangan.
Lasswell merumuskan sengketa berkepanjangan sebagai hubungan saling berumuskan di antara kelompok – kelompok yang akrab dimana tindakan kekerasan diketahui lebih dulu oleh kedua pihak. Dalam definisi ini terdapat dua gagasan penting yang memerlukan penjelasan lebih jauh, yaitu kekerasan dan kelompok yang akrab atau yang masih ada ikatannya.

Sifat dari Kekerasan
Dapat di simpulkan bahwa sengketa berkepanjangna meliputi tindakan kekerasan yang bersambung yang sering deselingi oleh masa – masa tenang, tetapi yang suatu waktu harus berhenti kalau tidak, ciri kedua yaitu hubungan yang akrab antara pihak bersengketa akan hilang. Berakirnya suatu sengketa itu belom berarti bahwa hubungan permusuhan itu akan menjadi hubungan saling mengabaikan atau persahabatan. Kemungkinan besar, suatu rentelan hubungan bersengketa akan timbul lagi.
Menurut Radeliffe Brown (1952 hlm. 215. 1940 hlm XX) segi lain dari sengketa berkepanjangan itu adalah bahwa tindakan kekerasan dibenarkan oleh pendapat umum. Yang perlu di sayangkan adalah bahwa dia tidak menjelaskan siapa saja yang membenarkannya: kelompok yang di serang, kedua pihak atau masyarakat umum. Dari ucapan yaitu bahwa tindakan – tidakan kekerasan itu tunduk kepada kebiasaan, maka dapat disimpulkan bahwa yang di maksud adalah pembenaran oleh masyarakat umum, termasuk kedua kelompok yang bersengketa. Tidak semua tindakan kekerasan di benarkan oleh pendapat umum. Supaya masih dianggap dalam batas – batas yang patas, maka pembalasan itu harus kira – kira setimpal dengan tindakan pertama.
Secara rangkuman dapatlah dikemukakan bahwa kekerasan yang dapat dianggap sebagai sengketa – berkepanjangan mempunyai cirri – cirri berikut: 1. Derajat kekerasannya berkisar dari luka – luka sampai pada pembunuhan. 2. Kekerasan dilancarkan berdasarkan kepentingan seseorang atau keluarga dan dia atau mereka itu adalah anggota atau bagian yang lebih akrab dari kelompok yang disiksa itu, 3. Sengketa itu berlangsung lama, artinya meyangkut paling sedikit tiga rentelan dari tiga tindakan kekerasan, siksaan, pembalasan dan pembalasan kembali. Tindakan permusuhan yang terdiri dari siksaan yang di ikuti oleh balasan yang setimpal dan di terima sebagai suatu penyelesaian akhir oleh kedua pihak, bukanlah sengketa berkepanjangan tetapi telah di katakana main hakim sendiri. Pada umumnya sifat dari bela diri mempunyai perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan sengketa – berkepanjangan.
Sifat dari Pihak yang Terlibat dalam Sengketa Berkepanjangan
Kelihatannya secara umum telah diterima, bahwa pihak – pihak yang terlibat dalam suatu sengketa berkepanjangan adalah pihak – pihak yang masih mempunyai ikatan tertentu. Namun masih ada perbedaan pendapat diantara para penulis mengenai bagaimana tepatnya hubungan itu.
Wright misalnya agak kabur pandangannya karena menurut dia:
“kebanyakan masyarakat yang masih primitive mengikuti kebiasaan perang yang berbeda, melawan kelompok yang masih dekat hubungan dengan siapa biasanya mereka bersahabat, dibandingkan dengan perang melawan kelompok yang asing. Tindakan – tindakan kekerasan pada hubungan pertama, pada umumnya merupakan sengketa berkepanjangan dan dimaksudkan sebagai pembalasan, atau untuk menegakkan kehormatan dari orang atau keluarga tertentu” (1959 hlm. 90).

Sengketa Berkepanjangan dan Peperangan
Kriterium bahwa ada suatu oragnisasi politik yang menghubungkan  kedua kelompok bersengketa, dapat juga digunakan untuk membedakan batas antara peperangan dan sengketa, berkepanjangan. Sengketa berkepanjangan  hanya dapat terjadi dalam suatu satuan politik, sedangkan perang melibatkan dua kelompok yang secara politik tidak mempunyai ikatan (Nadel 1974 hlm. 310). Namun harus berhati – hati sehingga tidak semua tindakan kekerasan terhadap orang – orang dari luar yang didukung oleh kelompok sendiri diklasifikasi sebagai peperangan suku primitive (Sschneider 1964 hlm. 276). 

Sengketa berkepanjangan dan Hukum
Kenyataan bahwa sengketa berkepanjangan terjadi di antara kelompok – kelompok yang tercakup dalam suatu masyarakat yang lebih luas yang memiliki jaringan – jaringan hubungan politik, telah menyebabkan sejumlah penulis mengambil kesimpulan bahwa sengketa demikian adalah mekanisme yuridis yang primitive dan bahwa hal itu merupakan manifestasi dari hukum primitive.


13.       Bentuk dari Hukum:
Dalam pandangan banyak ahli ilmu social, penyesuaian dengan nilai – nilai dasar dan pengaturan umum bukannya dipelihara dengan jalan pelaksanaan menurut hukum dalam keputusan – keputusan penting yang secara formal atau  tidak formal dibuat oleh para hakim, ketua atau pemimpin lainnya, tetapi oleh kekuasaan adat yang telah diketahui oleh semua orang tanpa diuraikan lagi oleh seseorang atau dewan yang diberi kekuasaan pengadilan. Kedudukan ini telah diterima oleh ahli antropologi dan sosiologi mula – mula, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa ketiadaan hukum adalah cirri khas masyarakat primitive.
Tradisi untuk memandang masyarakat primitf sebagai masyarakat yang dikuasai oleh kebiasaan oleh kebiasaan – kebiasaan yang sangat menentukan, dan yang deketahui oleh semua orang, tanpa adanya kebutuhan akan pemimpin yang informal sekalipun, yang melalui nasehat dan keputusannya tentang sengketa, merumuskan kembali dan menetukan kebiasaan – kebiasaan tidak hilang dengan berlalunya angkatan antropolog pertama yang sangat dipengaruhi oleh istilah – istilah Durkheim mengenai keadaan umum dan faham evolusi yang masih unilinier itu.

Manifestasi dari Hukum
Sebagaimana telah di uraikan ada 3 tradisi utama dalam pemikiran antropologi hukum  yang berhubungan dengan masalah definisi tentang hukum.
Tradisi pertama mempersamakan hukum dengan kebiasaan – kebiasaan yang secara agak otomatis ditaati tanpa memerlukan kepemimpinan. Otoritas legal, dan peradilan.
Tradisi kedua dalam usaha merumuskan hukum ia mengajukan criteria yang secara ketat mencerminkan suatu reaksi terhadap tradisi pertama.
Pada tradisi ketiga, para sarjana beranjak kepada titik ekstrim yang berlawanan dengan tradisi kedua ini, yaitu member definisi hukum yang hanya berlaku untuk setiap masyarakat yang dipelajari atau bersifat relative menurut sesuatu kebudayaan.

14.       Atribut – atribut Hukum.
Radin sekali waktu mengatakan :”kita yang telah belajar untuk bersifat rendah hati, telah menghentikan percobaan – percobaan untuk membuat definisi hukum”, namun banyak sarjana yang tidak kurang rendah hati, masih mencoba membuat definisi hukum. Hoebel malahan menyatakan: “namun mustahil bahwa hukum tidak dapat dibuat definisinya, karena definisi hanyalah suatu ungkapan mengenai cirri – cirri atau atribut – atribut dari suatu gejala atau suatu konsep” (1954, hlm.18)

Jawaban terhadap Dalil: Otoritas tidak ada
Dapat diajukan pertanyaan: dengan mengajukan otoritas sebagai salah satu atribut hukum, bukanlah hukum menjadi gagasan yang tidak lagi dapat bertahan sebagai gejala iniversal? Banyak ahli etnografi yang melaporkan bahwa dalam kebudayaan – kebudayaan tertentu tidak ditemukan otoritas. Beberapa contoh mengenai situasi yang dilaporkan sebagai masyarakat di mana pengendalian social yang berfungsi untuk memungkinkan tercapainya ketaatan pada norma.

Definisi tentang Kepemimpinan dan Otoritas
Definisi yang paling tua mengenai kepemimpinan adalah definisi yang dipusatkan terhadap sifat – sifat pemimpin yang di anggap universal. Dalam definisi jenis ini para penulis tidak mencoba untuk sampai pada rumusan dengan terlebih dahulu mengujinya secara empiris dalam penilitian yang bersifat lintas budaya (Cowley 1928 hlm, 144). Malahan kadang – kadang definisi demikian itu mencakup sifat - sifat yang secara unik dimiliki oleh para pemimpin.

Tipe – tipe kepemimpinan dan Otoritas
Suatu dikotomi yang hendak dikutip adalah kepemimpinan yang dinamakan “memaksa” dan yang “persuasive” atau juga “otoriter” lawan “demokratis”. Yang pertama dianggap menguasai pengikutnya berdasarkan “kekuatan kasar”. Pemimpin tipe ini mengandalkan diri pada perintah – perintah, jadi bukan pada kemampuan meyakinkan atau persuasi (Krech, Crutchfield dan Ballachey 1962, hlm. 434). Dalam hal ini dikatakan bahwa kemampuan pribadinya tidak relavan, dan para pengikutnya mengikuti perintah – perintahnya hanya di muka umum. Dia di anggap hanya dapat mencapai ketaatan pengikutnya melalui kekuasaan yang absolute dan menggunakan pengawasan yang langsung karena menjauhi hubungan – hubungan antar pengikutnya, dan menentukan semua kemahiran tanpa berkonsultasi dengan para pengikutnya mengenai tujuan – tujuan, metode – metode yang di gunakannya.

Jenis Otoritas Menurut Rentangan Kekuasaan
Dalam golongan ini jenis – jenis otoritas ditentukan menurut besarnya kekuasaan. Sesuai dengan definisi yang berlaku dalam sosiologi dan psikologi masa kini, maka kekuasaan di definisikan sebagai suatu potensi untuk memperanguhi.
Sesorang pemimpin mungkin saja mempunyai tujuan yang bertentangan dengan kepentingan para pengikutnya. Namun bila ia dapat dorongan atau memaksakan mereka untuk menerima tujuan yang dikehendakinya, haruslah diakui bahwa ia mempunyai kekuasaan dalam pembagian ini dalah otoritas yang terbatas dan otoritas yang mutlak.

Jenis Otoritas Menurut Rentangan Formalitas
Pada penggolongan yang kedua, otoritas dibedakan kriterium formalitas dan dengan melihat kepada derajat formalitas yang dimiliki, dapat dibedakan dua jenis yang ekstrim yaitu yang sangat informal dan otoritas yang sangat formal.
Pada jenis pertama sama sekali tidak diadakan upacara – upacara penobatan dan tidak ada pengumuman mengenai pengangkatan dan dalam menjalankan kekuasaan juga tidak ada keterikatan pada hal – hal yang telah di tentukan lebih dahulu. Otoritas informal cenderung tercapai dan dimiliki berdasarkan kepribadian dari kepemimpinan seperti yang didambakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hak – haknya, kewajiban – kewajibannya, jangkauan dari kekuasaannya, serta procedure yang diikutinya tidak ditentukan secara ketat dalam suatu undang – undang atau kebiasaan.

Contoh konkrit dari Jenis Otoritas
Penelitian tentang berbagai kebudayaan dapat member bahan keterangan tentang contoh konkrit dari berbagai jenis otoritas. Pada orang Kapauku di Irian Jaya terdapat jenis pemimpin yang dinamakan tonowi. tonowi adalah pemimpin dari kelompok – kelompok kekerabatan yang berbentuk klen dan klen kecil. Penunjukan para tonowi  terjadi sangat informal, tidak ada diselanggarakan upacara – upacara pada waktu mengambil keputusan – keputusan.
Fungsi dari Pemimpin dan Otoritas Legal
Ini berlaku untuk masyarakat Kapauku, Eskimo, Hopi dan Tirol yang telah saya pelajari. Dalam rangka itu maka saya berpendapat bahwa dari sudut keberlakuan universal cukuplah bila dikatakan bahwa fungsi uatama dari kepemimpinan adalah, mencapai perubahan kelakuan external dari warga masyarakat kelompok. Senada dengan itu maka menurut saya cukuplah untuk merumuskan fungsi dari otoritas hukum sebagai pembuatan keputusan hukum atau keputusan yuridis yang secara external diterima oleh para warga masyarakat atau kelompok.

15. atribut :maksud untuk penerapan Universal
Dalam masyarakat kesukuan seperti orang Eskimo Nunamiut, orang Kapauku di Irian, orang Cheyenne (salah satu suku Indian di Amerika Serikat) dan pada orang asli Ausralia, keputusan politik maupun hukum di tentukan oleh tokoh yang sama yaitu kepala adat, kepala suku atau suatu dewan. Karen yaitu perlu sekali mengidentifikasikan  suatu kriterium yang bias memisahkan bidang hukum dari bidang politik.

Atribut Obligato
Yang dimaksud obligato adalah bagian dari suatu keputusan yang menyatakan adanya hak – hak tertentu dari suatu pihak dan kewajiban – kewajiban dari pihak yanglain. Dalam bagian itu dirumuskan tentang hubungan social – hukum di antara kedua pihak yang bersengketa seperti yang di duga ada, ketika yang bersalah melanggar hukum.

Atribut Sanksi:
Tidak terkandung arti bahwa inilah yang paling tidak penting di antara keempat atribut itu. Banyak teori tentang hukum member peranan yang maha penting bagi sanksi, malahan ada di antaranya yang membuat sanksi identik dengan hukum.

3 komentar:

  1. keren. http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/fh-tandatangani-mou-klinik-etik-dan-hukum-ky-ri.html

    BalasHapus
  2. Merit Casino | 100% up to €20 No Deposit Free Spins
    Merit 메리트카지노 먹튀 Casino is a safe and reputable casino for Canadian players looking to create their own online casino games. We have a large selection of games available

    BalasHapus
  3. JSlot Casino Resort Spa Reviews & Ratings | JTM Hub
    JSlot Casino Resort Spa in Las Vegas, Nevada reviews and ratings 충청남도 출장샵 based 세종특별자치 출장안마 on 1210 reviews. 포항 출장샵 Rating: 순천 출장안마 3.4 · ‎Review by 대전광역 출장안마 KTNV

    BalasHapus